Pemerintah telah
mengeluarkan peraturan baru melalui Permendikbud No
84/2013 yang dikeluarkan Mendikbud 12 Juli 2013. Ini adalah turunan dari UU No
12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam
peraturan tersebut menegaskan syarat menjadi dosen tetap ialah PNS di Perguruan
tinggi dan Non – PNS baik itu kementrian/kota/kabupaten dsb, sehingga hal ini
menutup jalan bagi mereka yang ingin “dua wajah” disamping menjadi guru dan
disisi lain menjadi dosen. Memang jika kita
cermati mengapa fenomena ini ada di Indonesia, hal ini salah satunya disebabkan
karena kurangnya tenaga dosen di beberapa perguruan tinggi kita yang tentunya
tidak sebanding dengan jumlah rasio mahasiswanya.
Perlu diketahui bahwa jumlah rasio dosen dengan
mahasiswa dulu adalah 1:60, mungkin sekarang aturannya berubah. Hal ini tentu saja menggenjot para
rector/direktur/ketua perguruan tinggi untuk mencari dosen-dosen tetap yang nantinya
akan diikat secara permanen dengan segala hak dan kewajiban yang melekat
didalamnya. yang saya ingat, bahwa
syarat akreditasi perguruan tinggi tersebut ialah “wajib” memiliki 6 dosen
tetap dengan kualifikasi pendidikan linier (S1 dan S2), tetapi dibeberapa
daerah untuk mencari dosen yang linier itu cukup sulit.
Masalah
baru muncul ialah bagaimana seandainya ada guru yang mempunyai kualifikasi
pendidikan yang “pas” sebagai dosen tetapi masih mengajar di sekolah bukan di
kampus?. Hal ini sudah banyak
dibicarakan oleh beberapa kalangan dan pemangku kebijakan di kementrian
terkait, sehingga memunculkan kebijakan yang menurut saya tegas dan agak
terkesan memaksa. Ambil contoh saja, seorang
guru yang punya NIDN di salah satu perguruan tinggi dan di sisi lain juga
mempunyai NUPTK tetapi dengan pendidikan yang memenuhi syarat yakni S1 dan S2
linier. Kondisi ini tentu saja membuat
dosen/guru bersangkutan yang memiliki “dua wajah” diliputi kebingungan untuk
memilih masa depannya.
Pemerintah
dengan cukup tegas sudah mengeluarkan peringatan pada “dua wajah” tersebut
untuk memilih masa depannya, apakah memilih menjadi guru atau dosen. Tetapi menurut saya jika kondisi itu tetap
terjadi hendaknya pihak kampus maupun sekolah mengeluarkan kebijakan yang tidak
merugikan yang besangkutan. Perlu
dikatahui bahwa untuk mendapatkan sertifikasi guru saat ini, maka guru harus
mengikuti PPG (kuliah profesi) yang diselenggarakan pemerintah dan itu
“dibantu” oleh dinas pendidikan terkait, sedangkan bagi dosen yang ingin
mendapatkan sertifikasi maka dosen tersebut harus “bekerja ekstra” untuk
mendapatkannya, dengan kata lain jika dosen tersebut tidak mengurus pangkatnya,
maka bisa dipastikan sertifikasi hanya impian saja.
Guru tetap dan Dosen tetap
Profesi
guru dan dosen ialah profesi mulai yang sama-sama mencerdaskan anak bangsa, hanya
saja lingkupnya berbeda begitupun departemen yang menaunginya, jika guru mendidik
dan mengajar para siswa dibawah departemen pendidikan dan kebudayaan sedangkan
dosen mengajar para mahasiswa dibawah Departement Ristek. Sehingga cara dan metode mengajarnya pun sama
tetapi berbeda dalam aplikasinya.
Menjadi
guru tetap dan dosen tetap adalah pilihan yang harus dipilih salah satunya,
tidak mungkin seorang guru tetap yang telah mendapat sertifikasi juga
memperoleh pula sertifikasi dosen meskipun saat ini telah berbeda
kementriannya. Menjadi tetap dapat
diartikan bagi keduanya diartikan bahwa telah mencurahkan masa depannya pada
suatu perguruan tinggi/sekolah yang menjadi homebasenya dengan NIDN/NUPTK. Menjadi tetap dapat pula menjadi ikatan
antara guru tetap/dosen tetap dengan perguruan tinggi/sekolah yang dipilihnya,
sehingga istilah “nyambi” mencari tambahan ngajar kesana –kemari dapat
dihindari, dnegan syarat segala kebutuhan masa depannya telah dipenuhi sesuai
ketentuan pemerintah, dengan memberikan sertifikasi, tunjangan fungsional, UMR,
tunjangan keluarga, beasiswa lanjut sampai S3 bagi dosen dan sebagainya.
Guru honor dan Dosen honor
Tetapi
lain halnya dengan kasus guru honor dan dosen honor yang “rela” memilih untuk
tidak menjadi tetap disalah satu perguruan tinggi/sekolah. Ini merupakan “dua wajah” yang senantiasa ada
di dua sisi tersebut bisa menjadi guru dan menjadi dosen. Kelebihan untuk kondisi ini ialah mendapatkan
income tambahan dikedua sisi, dikenal dimana-mana dan dapat mengatur waktu
sesuai dengan keinginan, mempunyai daya juang mengajar yang luar biasa dan
sebaginya. Tetapi kelemahannya tidak
mendapat sertifikasi, penghargaan dari pemerintah, tunjangan keluarga dan
sebagainya.
Hendaknya
bagi mereka yang bergelut dalam pendidikan sudah dapat memilih masa depanya
apakah menjadi dosen atau guru dengan peraturan pemerintah.
Majulah
pendidikan kita, majulah para siswa/i-ku dan bangkit para mahasiswa/i-ku.
Catatan
iseng
Dudih
Gustian, M. Kom